GenZ Space
Diskusi seputar perubahan UU No. 34 tahun 2024 yang berkaitan dengan TNI yang dilakukan oleh Departemen Pertahanan bersama Komisi I DPR RI baru-baru ini menimbulkan kontroversi di kalangan masyarakat.
Kecemasan yang timbul di kalangan publik adalah revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia dapat membawa kembali fungsi ganda Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.
Pembaruan Undang-Undang Tentang TNI diyakini dapat membawa kembali konsep Dwifungsi ABRI karena peraturan baru ini akan memperkenankan personel aktif untuk menempati posisi sipil di hingga 16 departemen dan institusi pemerintahan.
Perubahan tersebut juga mengusulkan pemanjangan masa dinas prajurit menjadi 58 tahun untuk bintara dan tamtama, 60 tahun untuk perwira, serta 65 tahun untuk prajurit yang menempati posisi fungsional.
Dwifungsi ABRI yang sebelumnya ada sudah ditiadakan setelah reformasi, yaitu pada masa kepemimpinan Presiden RI ke-4 Abdurrahman Wahid alias Gus Dur.
Peran tentara aktif dalam posisi sipil yang terus meluaskan cakupannya dipandang dapat mengancam sistem pemerintahan demokratik.
Maka, bagaimana pendapat para analis tentang risikonya apabila Tentara Nasional Indonesia ikut terlibat dalam urusan sektor non-militer?
Kekhawatiran terkait masuknya TNI ke ranah non-militer
Para analis mengatakan terdapat berbagai aspek yang perlu dipertimbangkan dengan serius jika Tentara Nasional Indonesia ikut campur dalam urusan sektor non-militer. Berikut ini apa saja yang dimaksud?
1. Peningkatan militarisme dalam pengelolaan pemerintah
Direktur Eksekutif SETARA Institute, Halili Hasan, menegaskan bahwa salah satu ancaman besar terkait dengan partisipasi tentara dalam posisi sipil adalah semakin dominannya pemikiran militeraris dalam pengelolaan pemerintahan.
Dia mengatakan hal tersebut bertentangan dengan supremasi sipil.
“Supremasi sipil adalah komponen kunci untuk mengembangkan sistem tata kelola yang demokratis dalam suatu pemerintahan politik,” jelas Halili ketika ditemui oleh wartawan.
GenZ Space
pada Rabu (19/3/2025).
Menurutnya, apabila kekuatan militer bertambah kuat, hal itu dapat menyebabkan pengendalian penuh pemerintahan sipil atas militer menjadi lebih lemah.
Sebenarnya di negeri yang menganut demokrasi, menurut Halili, kekuatan sipil seharusnya menguasai seluruh aspek militer.
“Adanya TNI yang mengambil alih posisi dalam pemerintahan sipil membawa potensi peningkatan dampak militer pada keputusan-keputusan sipil, hal ini bisa menimbulkan pelemahannya supremasi sipil,” jelasnya.
2. Merusak tatanan birokrasi
Selanjutnya, kata Halili, partisipasi TNI secara aktif dalam posisi sipil bisa menghancurkan sistem meritokrasi.
Meritokrasi merupakan suatu sistem atau pemikiran yang menyediakan peluang bagi individu yang menunjukkan prestasi serta memiliki kualifikasi sesuai untuk mendapatkan jabatan, naik pangkat, ataupun apresiasi.
“Bisa kita amati bahwa TNI, Polri, serta birokrasi sipil memiliki jalur karier tersendiri di mana satu dengan yang lainnya seharusnya tidak saling menghancurkan,” jelas Halili.
Dia cemas bahwa keikutsertaan TNI bisa mengganggu sistem meritokrasi yang telah ada.
Di dalam sistem pemerintahan sipil, agar bisa meraih promosi ataupun meningkatnya posisi jabatan, saat ini telah diberlakukan prosedur penilaian serta evaluasi yang bersifat transparan.
Namun, saat TNI mengambil alih posisi sipil, seperti halnya cukup melalui penunjukan. Tentu ini sangat merugikan sistem meritokrasi,” ungkap Halili.
3. Mengikis demokrasi
Menurut Halili, jika TNI mengambil alih posisi dalam pemerintahan sipil, sangat mungkinkan mereka akan kurang berperilaku secara demokratis.
Sejak awal, TNI telah diberi pendidikan dan pelatihan dalam sistem komando yang cenderung menutup kemungkinan bagi perilaku yang berlandaskan demokrasi.
Kultur itu dinilai tidak sama dengan sistem birokrasi pemerintahan.
“Ketika pemimpin ditolak atau diberondong kritik, itu adalah hal lumrah di kalangan masyarakat umum namun tak biasa dalam budaya militer. Di sini, perwira memberikan instruksi dan prajurit wajib mengeksekusinya,” terangnya.
Dia juga tidak yakin bahwa bila nanti TNI aktif menempati posisi sipil, perubahan tersebut sepenuhnya akan menjadikannya lebih demokratis.
“Iya, karena gaya kepemimpinan militer sebelumnya berbasis pada sistem perintah, jadi cukup sulit berubah dengan cepat menjadi lebih sipil meski kini menempati posisi sipil,” ujar Halili.
4. Cara pandang serta tindakan mereka berbeda dari yang biasa dijalankan oleh pihak sipil.
Pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti merasa tidak cocok apabila TNI terlibat secara aktif dalam mengisi posisi pemerintahan sipil.
Tidak seperti orang sipil yang bisa bersikap kritis, ia mengatakan bahwa TNI dilatih untuk tidak berpikir secara kritis dan dilarang bertanya tentang perintah dari komandan atau atasannya.
“Senantiasa patuh, tunduk, takkan mengeluh dan senantiasa siap mengeksekusi instruksi. Itulah ciri-ciri seorang prajurit yang ideal,” jelas Bivitri kepada
GenZ Space
pada Rabu.
Dia juga menyoroti bahwa cara berpikir militer sering kali bertentangan dengan prinsip-prinsip pemerintahan demokratik. Menurut Bivitri, ini membuat masyarakat memiliki alasan untuk cemas apabila angkatan bersenjata tersebut ikut terlibat dalam posisi sipil, sebab hal itu bisa merusak asas-asas demokrasi.
“Prinsip-prinsip demokrasi mencakup keterbukaan, pertanggungjawaban, serta partisipasi. Sebaliknya, aspek militer cenderung menutup pintu bagi ketiga prinsip ini,” tegasnya.
Menurut Bivitri, posisi sipil yang ditawarkan pemerintah guna meningkatkan partisipasi TNI aktif sebenarnya tergantung pada tekad politik para pemimpin negara.
Menurut Bivitri, langkah pemerintah untuk menambah posisi sipil yang tersedia bagi personel militer aktif tidak hanya merupakan sebuah keputusan rutin, tetapi juga indikasi dari niat politik tertentu.
political will
pimpinan negara.
Dia menggarisbawahi bahwa aturan tersebut mencerminkan niat para pemimpin dalam hal memberikan
privilege
kepada pejabat militer yang sedang bertugas, agar bisa menempati jabatan dalam lingkup pemerintah sipil.
Sekadar informasi, sebenarnya tidak ada niat untuk memberikan.
previlage
kepada para pegawai negeri agar menempati posisi jabatan yang telah diatur dalam regulasi mereka,” jelaskannya.