HomebusinessRp. 700 Miliar Hilang: Nasabah Hanyalah Penonton, Siapakah Yang Bertanggung Jawab?
business

Rp. 700 Miliar Hilang: Nasabah Hanyalah Penonton, Siapakah Yang Bertanggung Jawab?

Indonesia sekali lagi terpukul oleh kasus kejahatan cyber yang sangat merugikan, mencapai Rp700,2 miliar (hingga 9 Februari 2025), hilang tanpa...

Bagikan artikel

Indonesia sekali lagi terpukul oleh kasus kejahatan cyber yang sangat merugikan, mencapai Rp700,2 miliar (hingga 9 Februari 2025), hilang tanpa jejak. Ratusan ribu pemilik rekening harus rela simpanannya pergi sia-sia. Seperti umumnya, tak ada pihak yang betul-betul disalahkan atas insiden ini. Otoritas Jasa Keuangan justru melengserkan tanggung jawab pada argumen kalau mereka hanya membidani supervisi, bukan penyelesaian masalah tersebut. Sementara itu, institusi perbankan bersikeras jika aktivitas moneter tersebut telah dikerjakan “sesuai permintaan si depositor”. Lalu bagaimana dengan aparat polisi? Proses investigasi cenderung rumit serta kerapkali meningkatkan beban finansial para korban.

Maka, bagaimana nasabah-nasabah ini dapat bertindak setelah kehilangan dana mereka dalam sekejap? Bisakah mereka hanya menyerahkan diri dan menyaksikan saldo rekening berkurang hingga nol tanpa melakukan apapun?

Penipuan Online: Kriminal Cyber Tanpa Memandang Merek

Phising tidak hanya berfokus pada uang atau produk simpanan di perbankan saja. Jenis kriminalitas ini dapat mencapai seluruh alat keuangan yang dikaitkan dengan informasi pribadi para korban. Bila akun e-banking ataupun aplikasi keuangan dirampas oleh penyerang, maka jumlah dana seperti deposito, reksadana, hingga polis asuransi pun mungkin akan lenyap begitu saja.

Berdasarkan beberapa contoh, para pelaku penipuan tak cuma menyedot dana dari rekening bank saja, melainkan juga merampok investasi di portfolio daring milik korbannya. Ada pula yang berani menebus polis asuransi hidup hingga meminjam uang atas nama si korban.

Kenyataan bahwa dana pelanggan dapat lenyap begitu saja menggambarkan betapa rapuhnya pertahanan digital di industri perbankan kita. Seakan-akan bank serta otoritas pengawas meninggalkan para pemegang akun untuk bertarung sendiri dengan ancaman cyber tanpa cukup perlindungan.

dana menghilang menuju cryptocurrency: jejak transaksi yang sulit dilacak

Lebih memprihatinkan lagi, dana yang berasal dari penipuan phising biasanya ditransfer ke dalam bentuk crypto. Alasan utamanya adalah karena transaksi mata uang kripto memberikan tingkat privasi yang sangat baik sehingga melacak dan pencarian dana tersebut hampir tidak mungkin dilakukan. Sesuai dengan sebuah laporan oleh Scam Sniffer, jumlah kerugian akibat serangan phishing crypto telah naik secara signifikan, contohnya seperti kasus besar yang terjadi pada bulan Agustus dimana lebih dari 9.100 orang menjadi korban dan merugi total mencapai sekitar $63 juta USD.

Penipu digital mengambil untung dari teknologi blockchain guna menyembunyikan asal-usul uang yang didapat melalui tindak pidana. Mereka menerapkan metode seperti jasa pengacau (“mixing services”) atau pemutar (“tumblers”), sehingga bisa membagi saldo menjadi bagian-bagian kecil, mencampurnya dengan aktivitas lain sebelum akhirnya mengekstrak kembali secara tidak terlihat. Tambahan pula, mereka merujuk pada fasilitas pertambangan awan sebagai alat pencucian mata uang crypto, menjadikan pelacak transaksi lebih rumit untuk dipantau.

Menjaga Keamanan Uang: Langkah-langkah bagi Pelanggan

Pada kondisi di mana sektor perbankan dan otoritas pengawas belum mahir dalam mengatasi masalah tersebut, para pemegang polis harus mengambilinisiatif sendiri guna memelihara kekayaannya. Beberapa tindakan yang dapat diterapkan adalah sebagai berikut:

Pembagian Dana ke Berbagai ProdukJangan meletakkan seluruh jumlah uang Anda pada satu instrumen investasi, terlebih lagi di akun dengan akses digital instan. Alih-alih, pertimbangkan untuk menggunakan produk seperti deposito atau reksa dana yang memerlukan langkah-langkah verifikasi lebih lanjut sebelum pencairan.

Matikan Layanan Mobile Banking yang Kurang Terpakai Jika Anda tidak sering menggunakan layanan mobile banking untuk aktivitas finansial berukuran besar, pikirkanlah untuk mengnonaktifkan beberapa opsi guna mencegah kemungkinan pembobolan.

Pilih Bank Dengan Proteksi Bertingkat Gunakanlah bank yang menyediakan otentikasi dua faktor serta fasilitas keamanan terbaiknya. Tidak ada salahnya mengajukan pertanyaan pada pihak bank seputar langkah-langkah mereka dalam mencegah serangan phising bagi para pelanggannya.

Hindari Mengklik Asal dan Berbagi Informasi Palsu Penipuan phishing biasanya dimulai dengan tautan yang dikirim melalui WhatsApp, email, atau media sosial. Selalu hindari memberikan informasi pribadi di laman web yang belum diverifikasi sebagai resmi.


Perhatikan Akun dengan Teratur

Jangan tunggu hingga dana Anda berkurang tanpa alasan untuk memulai pemeriksaan. Teliti riwayat transaksi secara terus-menerus dan sampaikan secepatnya apabila mendapati kejadian aneh atau meragukan.

Berhati-hatilah terhadap Penipuan Crypto.Jika Anda mempertimbangkan investasi dalam crypto, tetapwaspadai jenis-jenis scam seperti “scam perangkap madu” dimana para penjahat dapatmembuat website tiruan mirip denganplatform kripto resmi guna mengambildana milikmu.

Nasabah Bukan Hanya Korban, Tetapi juga Pahlawan

Hal yang paling menusuk hati dalam kasus ini bukan sekadar kerugian finansial, melainkan realitas bahwa para korban tampak seperti diabaikan. Meskipun insiden phising sudah sering kali terulang, namanya masih saja diselesaikan dengan alasan identik: “Kami hanyalah penyedia jasa dan tidak bertanggung jawab atas kelalaian pelanggan.”

Apakah setiap orang perlu jadi spesialis keamanan digital agar dapat menyimpan uang secara aman? Bukan tanggung jawab bank dan otoritas terkait untuk mengembangkan sistem yang lebih protektif?

Apabila bank tak mampu menjaga keselamatan dana kita, mengapa kita harus menitipkan harta benda kita pada mereka?

Kasus kriminal cyber ini mestinya memberikan pelajaran berharga kepada otoritas negara serta dunia perbankan agar tak lagi bertindak secara defensif. Hanya menasehati publik untuk tetap waspada tentunya kurang memadai. Perlu adanya mekanisme ganti rugi yang terstruktur dengan baik, penyelidikan yang dilakukan secara terbuka, serta aturan hukum yang dirancang guna menjaga konsumen dari dampak merugi karena kesalahan pada infrastruktur finansial.

Jika demikian, maka publik akan mengalami peningkatan ketidakpercayaan terhadap institusi perbankan. Tanpa adanya rasa percaya tersebut, semua aspek perekonomian berpotensi terhenti.

Lawan Melalui Pendidikan dan Kerjasama

Pada keadaan semacam itu, pelanggan memiliki dua opsi: bertarung atau tunduk. Orang-orang yang memilih untuk tunduk bakal tetap jadi mangsa. Sementara itu, mereka yang lebih memilih bertarung, mengklaim hak-haknya, mendesak penyelesaian masalah tersebut, serta tak hentikan usaha sebelum ditemukan solusinya, niscaya ikutan dalam proses transformasi.

Berlawanan tidak selalu berarti bertemu langsung dengan pelaku kejahatan cyber. Perlawanan dapat di mulai dari hal-hal mendasar seperti pendidikan diri sendiri. Mengerti cara kerja para penipu, mengenali ciri-ciri phising, serta tetap waspada terhadap tawaran yang tampaknya terlalu baik untuk disebut nyata.

Di samping itu, kerjasama di antara pelanggan, perbankan, serta otoritas pengawas perlu dipertingkatkan. Pelanggan sebaiknya aktif melapor mengenai perilaku aneh atau meragukan. Perbankan harus sigap dan jujur saat memproses keluhan tersebut. Sementara itu, pihak berwenang harus tegas dalam menerapkan regulasi dan memberlakukan hukuman pada institusi finansial yang tidak bertanggung jawab.

Pada dasarnya, keadilan tidak datang dengan mudah. Keadilan harus dipertaruhkan dan pertempuran ini bermula dari dalam diri kita masing-masing.

Bagikan artikel

Komentar Ditutup! Anda tidak dapat mengirimkan komentar pada postingan ini.

Tap outside to close